Berita

17 September, 2018

INDEF: Fintech “Lending” Sumbang PDB hingga 25,97 Triliun Rupiah

Lembaga riset independen INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) bersama Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mengungkapkan peran fintech lending di Indonesia selama dua tahun terakhir mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp25,97 triliun. Dampak lain yang lebih umum juga mulai dirasakan, melihat dari konsumsi rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, menjelaskan dari sisi konsumsi rumah tangga produk fintech meningkat hingga Rp8,94 triliun setiap tahunnya. Dunia usaha berbasis fintech dapat mendongkrak kompensasi tenaga kerja sebesar Rp4,56 triliun. Sektor yang paling banyak mengalami kenaikan adalah perdagangan, keuangan, dan asuransi.

Penyerapan tenaga kerja pasca fintech sudah mencapai 215.433 orang. Tidak hanya dari sektor-sektor tersier, namun sektor premier. Misalnya pertanian, mengalami penyerapan yang cukup besar hingga 9 ribu orang. Terlihat dari angka penyaluran kredit dari fintech tembus Rp7,64 triliun pada 2018 dan banyak disalurkan ke sektor perdagangan dan pertanian.

“Selain itu, investasi di [perusahaan] fintech di Indonesia mencapai Rp5,69 triliun, didapat dari porsi pembentukan PDB Indonesia dikalikan dengan jumlah investasi fintech dunia,” ujar Bhima, Selasa (28/8).

Menurut Bhima, merambahnya sektor pertanian semakin menegaskan bahwa fintech bukanlah substitusi perbankan, melainkan pelengkap dari jasa keuangan yang sudah ada.

Mengutip dari World Bank 2015, rasio penyaluran kredit terhadap PDB yang masih berada di angka 39,1 persen. Lebih dalam lagi, pelayanan kredit bagi UMKM bahkan masih sangat rendah.

“Porsi kredit UMKM terhadap total kredit stagnan di kisaran angka 20-22 persen. Di sisi lain, hanya ada setengah penduduk dewasa yang memiliki rekening di bank. Angka-angka tersebut menunjukkan pelayanan perbankan, terutama di segmen pelayanan kredit, masih sangat rendah.”

Direktur Aftech, Ajisatria Suleiman, merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat peran fintech, sehingga dibutuhkan kebijakan yang mampu menekan biaya akuisisi nasabah, meminimalkan risiko fraud, dan memberikan perlindungan konsumen.

Ia berharap risiko fraud dari nasabah palsu dan risiko gagal bayar dapat diminimalkan dengan penguatan akses identitas berbasis biometrik dan akses ke layanan biro kredit.

“Saat ini sudah ada pengaturan di OJK terkait e-KYC dan informasi kredit, sehingga yang dibutuhkan adalah implementasi di level teknisnya, terutama yang bersifat lintas kementerian, contohnya antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kominfo,” kata Aji.

Hasil Penelitian Lebih Dalam

INDEF dan Aftech melakukan penelitian menggunakan analisis Input-Output (I-O). Kajian dilatarbelakangi rendahnya penetrasi layanan keuangan di Indonesia, khususnya di bidang kredit atau pembiayaan. Dijabarkan lebih dalam, dampak pertumbuhan PDB masih dapat berubah seiring makin berkembangnya fintech dalam beberapa tahun ke depan.

Secara sektoral, yang memperoleh dampak signifikan terhadap adanya investasi penyaluran dana fintech adalah industri teknologi, perusahaan jasa, perbankan, keuangan, dan penyaluran dana pensiun. Kelimanya sangat erat kaitannya dengan teknologi berbasis internet.

Berikutnya, dampak fintech terhadap konsumsi rumah tangga terjadi karena adanya kenaikan signifikan di sektor yang berkaitan langsung dengan fintech ataupun kegiatannya. Bisa dilihat dari pengadaan konsumsi pembayaran listrik jadi terbesar, setelah sektor perdagangan dan jasa lembaga keuangan lainnya.

Untuk dampak terhadap tenaga kerja, pendapatan secara nasional bertambah dengan adanya investasi ke sektor fintech dan penyaluran dana ke masyarakat. Seperti petani, pedagang, atau investor personal berpotensi mendapatkan kenaikan pendapatan atau upah karena adanya pengembangan fintech.

Sektor yang mendapatkan kenaikan pendapatan paling besar setelah perdagangan dan lembaga keuangan berbasis asuransi. Pasalnya fintech juga akan memanfaatkan jasa asuransi terutama asuransi kredit.

Saat ini OJK mencatat ada 66 perusahaan fintech di Indonesia yang telah resmi terdaftar dan mendapatkan izin.

 

Sumber: Tech In Asia

27 April, 2018

Pengamat: Adanya Batas Waktu Bagi Pph Final UKM Itu Positif

Selain menyiapkan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final untuk UKM jadi 0,5% dari 1%, dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) 46, pemerintah juga bakal mengatur batas waktu bagi wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) maupun WP badan UKM untuk menggunakan tarif PPh Final.

Nantinya, WP hanya akan diberikan waktu hingga beberapa tahun untuk membayar pajak dengan tarif PPh final dan melaksanakan pencatatan. Rencananya, untuk WP OP UKM akan dibatasi sampai enam tahun. Sementara, untuk WP Badan UKM selama tiga tahun.

Pengamat pajak sekaligus Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, PPh Final atas UKM pada dasarnya merupakan suatu jenis kebijakan presumptive tax, yaitu suatu pengenaan pajak berdasarkan suatu indikator lain di luar penghasilan neto.

Model pajak seperti ini memiliki kelemahan, yaitu UKM bisa jadi tetap berada dalam rezim tersebut dalam jangka waktu lama dan tidak mengikuti sistem yang berlaku secara umum.

Dengan demikian, tujuan untuk ekstensifikasi dan mengikis informalitas dalam sistem pajak sulit terwujud.

“Oleh karena itu, model presumptive juga sebaiknya bersifat temporer (sementara). Adanya ide untuk memberikan batas waktu bagi pajak final merupakan sesuatu yang positif,” kata Darussalan kepada KONTAN, Rabu (25/4).

Kelemahan lainnya, pajak yang dibayarkan oleh UKM bisa jadi tidak mencerminkan ability to pay-nya karena misal dalam keadaan merugi dia masih tetap dikenakan pajak.

Meski adanya batasan ini dinilai positif, hal ini juga perlu diimbangi dengan strategi pembinaan WP UKM oleh DJP untuk mempersiapkan pembukuan. Adapun perlu terdapat pemberian opsi bagi UKM yang sudah pembukuan dapat tetap melakukan kewajiban pajaknya berdasarkan tarif umum dengan basis penghasilan neto.

Darussalam mengatakan, bagaimanapun juga, UKM pada umumnya belum melakukan pembukuan sehingga penghasilan neto sulit untuk diketahui secara pasti. Untuk memberikan kemudahan bagi UKM serta upaya untuk mengurangi shadow economy dalam sistem pajak, model presumptive tax seperti halnya PPh Final atas peredaran bruto UKM tersebut, menjadi suatu terobosan yang diperlukan.

 

Sumber: http://nasional.kontan.co.id/news/pengamat-adanya-batas-waktu-bagi-pph-final-ukm-itu-positif

27 April, 2018

Inkubator Bisnis Ikopin Dorong UKM Mulai Ekspor

Untuk mendorong pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) masuki pasar ekspor, Pusat Inkubator Bisnis dan Kewirausahaan Ikopin gelar pelatihan bagi UKM. Pelatihan ini menjelaskan persyaratan teknis dalam memasarkan produknya ke luar negeri.

“Saat ini begitu besar dan terbuka peluang bagi UKM untuk melakukan ekspor. UKM harus paham teknis dalam melakukan ekspor karena sekarang ada ancaman banjirnya barang impor dan begitu mudahnya melakukan impor seperti misalnya dari China,” kata Indra Fahmi, Direktur Pusat Inkubator Bisnis & Kewirausahaan Ikopin (PIBI Ikopin)  dalam siaran pers, Senin (23/4).

Praktisi Ekspor dan Trainer di Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia Nur Hidayat bilang calon eksportir juga wajib mempelajari berbagai jenis dokumen produk ekspor yang harus dipersiapkan. Selain itu, biaya dan harga jual produk ekspor, jenis barang yang bisa diekspor, dan jenis-jenis pengangkutan produk ekspor.

Calon eksportir juga harus memahami cara pengiriman ekspor, komponen biaya ekspor, menentukan harga jual ekpor, dan jaringan yang memudahkan terjadinya ekspor barang.

Ia berharap dengan memahami hal itu pelaku UKM dapat memahami seluk beluk dalam melakukan ekspor. Juga bersemangat untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas produknya yang berorientasi ekspor.

 

Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/inkubator-bisnis-ikopin-dorong-ukm-mulai-ekspor

27 April, 2018

Industri asuransi kredit dan penjaminan diproyeksi tumbuh di atas 10%

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi industri asuransi kredit dan penjaminan bisa berkembang pesat di waktu mendatang. Hal ini didukung oleh banyaknya segmentasi pasar yang belum digarap oleh pelaku industri.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam pengembangan dan peningkatan daya saing industri perasuransian nasional di antaranya dengan terus memaksimalkan ceruk pasar yang belum digali secara optimal.

Lalu, memperluas pemasaran produk asuransi sehingga bisa menjangkau layanan ke seluruh lapisan masyarakat, khususnya dalam mempersiapkan diri memasuki pemasaran produk yang dipasarkan oleh financial technology (fintech).

“Kolaborasi dengan lembaga keuangan lain menjadi hal yang penting karena perusahaan asuransi tidak bisa hidup sendiri,” kata Wimboh di Jakarta, Selasa malam (24/4).

Wimboh optimistis dengan masih banyaknya potensi bisnis yang bisa digali menjadi pendorong semakin berkembang pesatnya industri asuransi kredit maupun penjaminan. Contohnya saja, kata dia, dari kredit usaha rakyat (KUR) yang besar menjadi segmentasi yang positif lalu juga saat ini dan masa mendatang dengan banyaknya proyek turut jadi katalis positif.

“Kami masih optimis tahun ini asuransi kredit dan penjaminan bisa tumbuh dobel digit, bisa jadi 10%, bahkan lebih,” kata Wimboh

Plus, gencarnya penggunaan kanal teknologi juga akan turut mendukung bisnis ini semakin berkembang sehingga dari sisi pelayanan akan semakin cepat. Begitupun asuransi kredit, ceruk pasar yang bisa diambil pelaku industri masih luas sekali seperti misalnya kredit-kredit mikro di daerah.

Senada, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dadang Sukresna juga menilai asuransi kredit bisa tumbuh lebih dari 10%. Ambil contoh, sampai akhir 2017, asuransi kredit naik 10,8% menjadi Rp 5,17 triliun.

“Kami juga melihat demikian, masih banyak potensi pasarnya. Untuk penjaminan dengan proyek yang semakin banyak tentu bisa mendorong. Begitupun juga rencana KUR yang besar,” kata Dadang di kesempatan yang sama.

 

Sumber: http://keuangan.kontan.co.id/news/industri-asuransi-kredit-dan-penjaminan-diproyeksi-tumbuh-di-atas-10

10 April, 2018

Himbara Anggarkan Pembiayaan Rp 10,6 Triliun buat Penggilingan Padi

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mangadakan rapat koordinasi terbatas terkait pembiayaan KUR (kredit usaha rakyat) untuk revitalisasi penggilingan padi dan dryer.

Rapat ini dihadiri oleh Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti dan beberapa perwakilan perbankan dari Himpunan Bank Milik Negara ([Himbara ] (3187098 “”)) antara lain BNI, BRI, serta Mandiri.

Direktur jaringan dan layanan BRI, Osbal Saragih, mengatakan, pihaknya bersama anggota bank Himbara bakal memberikan pembiayaan pengadaan penggilingan dan dryer melalui kredit usaha rakyat (KUR) untuk Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi). Adapun besaran plafon yang disiapkan untuk sektor itu sebesar Rp 10,6 triliun.

“Ada prospek pembiayaan diberikan ke kita oleh Perpadi, kita siap di lapangan untuk melakukan karena setiap hari kita sudah melakukan hal seperti itu. KUR kita sudah ada plafonnya, Rp 10,6 triliun, dari Rp 120 triliun pembiayaan KUR tahun ini. Rp 10,6 triliun itu khusus untuk yang kecil ya,” ujar dia di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (6/4/2018).

Osbal mengatakan, penyaluran KUR ini sangat dibutuhkan oleh para pengusaha untuk melengkapi kebutuhan penggilingan dan dryer. Sebab, pada beberapa waktu lalu pengusaha sempat mengeluhkan kekurangan dryer saat musim hujan membuat produksi pertanian menurun drastis.

“Karena melihat kondisi para pengusaha di lapangan bahwa ini ada disebut kebutuhan ini. Kemarin musim panen, kemudian ada musim hujan ada kendala. Lalu mereka menawarkan kita mengelola, bagaimana perbankan bisa terlibat untuk membantu kesulitan ini. Dan Pak Menko (Darmin Nasution) bisa membantu hal itu, mengoordinasikan untuk hal itu,” ujar dia.

Namun demikian, Osbal belum dapat menjelaskan lebih lanjut bagaimana skema penyaluran KUR untuk pengusaha pertanian ke depan. Hal tersebut masih akan dikoordinasikan kembali dengan berbagai pihak pada Rabu, 11 April 2018 mendatang di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.

“Nanti kita akan lihat, karena kita masih menentukan model. Nanti Perpadi akan mengajukan model 1 dan model 2. Ini masih mencari bentuk. Sedang akan dibentuk tim teknis oleh Pak Menko, dan mungkin hari Rabu kita kumpul lagi,” ujar dia.

 

Sumber: https://www.liputan6.com/bisnis/read/3432017/himbara-anggarkan-pembiayaan-rp-106-triliun-buat-penggilingan-padi

Scroll to top